Hasilnya adalah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Peraturan baru tersebut pada intinya memperbolehkan Freeport mengekspor konsentrat hingga 5 tahun ke depan, sejak Januari 2017 bersamaan dengan harus selesainya pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
Syarat lain adalah skema kerjasama berubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham hingga 51 persen, dan sistem pajak/fiskal mengikuti aturan yang berlaku (prevailing), tidak lagi mengikuti ketentuan yang berlaku dalam KK (nail down).
Freeport pun akan memperoleh perpanjangan kontrak 20 tahun, sehingga memberi kepastian investasi untuk tambang bawah tanah dan smelter.
Ternyata "kemurahan hati" pemerintah menerbitkan PP No.1/2017 untuk merelaksasi larangan ekspor dan memberi perpanjangan kontrak 20 tahun, tidak ditanggapi Freeport, yang terutama keberatan atas divestasi 51 persen dan ketentuan fiskal yang berlaku bagi pemegang IUPK.
Bahkan Freeport mengancam pemerintah dengan rencana PHK terhadap ribuan karyawan PTFI, dan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional.
Dalam KK Freeport-Pemerintah RI memang termuat ketentuan penyelesaian perselisihan melalui jalur arbitrase.
Namun, langkah tersebut hanya akan ditempuh jika kesepakatan atas berbagai perbedaan tidak tercapai dalam 120 hari (sesuai ketentuan Pasal 21 KK), yang dihitung sejak 17 Februari 2017.
Tentu saja sikap Freeport ini mendapat tanggapan serius dari pemerintah, yang telah beriktikad baik mencari solusi win-win.
Menteri ESDM Ignatius Jonan mengatakan, pemerintah pun bisa menggugat Freeport ke arbitrase internasional.
Menko Maritim Luhut B Panjaitan mengatakan, Freeport sebagai perusahaan yang tak mengikuti aturan tata kelola korporasi yang baik, karena mengancam akan merumahkan sejumlah karyawan.
Dikatakan, sebagai perusahaan multinasional, tak elok bagi Freeport begitu saja melakukan PHK.
Terkakhir, Presiden Jokowi mengatakan, "kalau memang sulit diajak musyawarah dan sulit kita ajak berunding, ya, nanti kita akan bersikap," kata Presiden Jokowi.
Sikap Freeport memang sejak semula tidak kooperatif, saat dimulainya renegosiasi KK pada 2011.
Istilah "renegosiasi" pun sebenarnya tidak tepat dan menempatkan posisi pemerintah lebih rendah, karena yang seharusnya dilakukan adalah "menyesuaikan" seluruh ketentuan KK dengan ketentuan-ketentuan baru yang diperintahkan UU No.4/2009.
Faktanya memang sikap keberatan Freeport mulai ditunjukkan Dubes Amerika Serikat Ted Osius mengatakan, renegosiasi kontrak akan menciptakan ketidakpastian bagi investor.
"Saya rasa itu akan sulit, karena begitu Anda menandatangani kontrak dan mau mengevaluasi kontrak itu bahkan mau mengubah kontrak itu, itu yang investor sebut ketidakpastian. Itu akan memberi sinyal kurang baik bagi potensial investor," papar Ted Osius pada 22 Juni 2011.
Ternyata hingga saat ini "renegosiasi" dengan Freeport atas enam isu/aspek strategis yang diperintahkan UU Minerba memang gagal, dan masih menimbulkan kisruh seperti disebut di atas.
Keenam aspek strategis tersebut adalah luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara/royalti, kewajiban pengelolaan dan pemurnian (smelting) domestik, kewajiban divestasi saham, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.
Kewajiban smelting dalam negeri harus dilakukan paling lambat 5 tahun sejak UU Minerba ditetapkan pada Januari 2009, yaitu pada Januari 2014.
Pembangkangan Freeport
Pembangkangan Freeport membangun smelter domestik ternyata telah diampuni pemerintah 2 kali, yaitu dengan pemberian relaksasi larangan ekspor melalui PP No.1/2014 dan PP No.1/2017.
Sebenarnya penerbitan kedua PP tersebut telah sangat nyata melanggar UU No.4/2009, dan wajar jika DPR/MPR menggunakan fungsi pengawasannya untuk mengajukan hak angket atau memulai proses pemakzulan.
Berdasarkan tata urutan perundangan yang berlaku, posisi PP berada di bawah UU, sehingga ketentuan dalam PP tidak sah digunakan mengeliminasi ketentuan yang ada dalam UU.
Namun langkah-langkah tersebut tampaknya tidak dilakukan DPR/MPR. Tapi terlepas dari kontroversi penerbitan PP di atas, sikap pemerintah yang berani bersikap tegas kepada Freeport layak didukung, terutama jika seluruh 6 aspek strategis sesuai perintah UU No.4/2009, akhirnya dapat disepakati oleh Freeport.
Kesepakatan atas seluruh aspek strategis kelak harus dituangkan dalam IUPK, yang menjadi target negosiasi dalam 120 hari.
Pemerintah tidak boleh berkompromi untuk 1 aspek pun, yakni divestasi saham hingga 51 persen, luas wilayah tambang maksimum 25.000 ha, optimasi kandungan lokal, ketentuan fiskal yang prevailing dan periode izin hingga 2041, kecuali target pembangunan smelter yang memang akan mundur menjadi Januari 2022.
Posisi yang tidak boleh dikompromikan di atas merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945, dan perintah UU Minerba No.2009.
Mempertahankan posisi dan sikap tersebut akan menunjukkan Indonesia berdaulat atas sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, dan sekaligus menyatakan kepada siapa pun yang ingin berbisnis di Indonesia harus tunduk, patuh terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara kita.
Dengan sikap demikian, pemerintah pun akan mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Dukungan tersebut dapat pula dimulai oleh DPR RI dengan membuat pernyataan sikap secara terbuka.
Sebaliknya, jika kesepakatan gagal dicapai dalam batas waktu 120 hari, maka pemerintah pun harus menyatakan siap menghadapi Freeport pada sidang-sidang arbitrase.
Pemerintah harus mempersiapkan diri secara seksama, termasuk menunujuk pengacara yang kredibel dan profesional di bidangnya, serta menjamin tidak terjadinya pengkhianatan internal seperti pada kasus arbitrase Karaha Bodas yang dimenangkan asing.
Pemerintah harus sangat yakin akan memenangkan gugatan arbitrase, mengingat yang kita perjuangkan adalah penegakan kedaulatan dan pelaksanaan UU yang merupakan kehendak rakyat.
Pemerintah RI dapat merujuk Pemerintah Venezuela, yang memenangkan gugatan artbitare yang diajukan ExxonMobil (EM) atas kebijakan Venezuela menasionalisasi saham EM pada lapangan minyak Cerro Negro di Orinoco Oil Belt, Venezuela.
EM menggugat ganti rugi sebesar US 7 miliar pada 2007. Ternyata setelah melewati sidang-sidang arbitrase sekitar 4 tahun, pada akhir 2011, Pemerintah Venezuela memenangkan gugatan dan hanya berkewajiban membayar ganti rugi US$ 251 juta.
Langkah nasionalisasi, hak legal melakukan expropriation, mengambilalih aset demi kepentingan publik, ternyata berhasil mengalahkan argumentasi keharusan "penghormatan kesucian kontrak", contract sanctity yang sering diusung dan diancamkan oleh para investor/MNC.
Gugatan arbitrase oleh Freeport akan dapat kita menangkan karena yang diperjuangkan adalah kepentingan publik yang dilandasi konstitusi dan UU, seperti kasus Cerro Negro.
Apalagi, yang kita tuntut hanyalah renegosiasi perbaikan kontrak, bukan nasionalisasi saham seperti dilakukan Chavez.
Untuk itu, yang diperlukan ke depan adalah soliditas dan konsistensi pemerintah menegakkan kedaulatan, amanat konstitusi dan ketentuan UU, baik saat negosiasi maupun saat sidang-sidang arbitrase (jika negosiasi gagal).
Setelah hampir setengah abad dikuasai Freeport, sekaranglah saatnya mulai merintis dominasi negara melalui BUMN dan BUMD di tambang mineral Mimika, agar manfaatnya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat diraih.
Presiden Jokowi harus memimpin perjuangan menghadapi Freeport ini, dan memastikan bahwa tidak ada penumpang gelap yang kelak akan menelikung hak BUMN dan BUMD bagi kepentingan swasta atau apalagi asing.
0 komentar: