Iwansyah H. Abubakar termasuk polisi langka. Pangkatnya boleh masih brigadir kepala. Tapi, gelar akademisnya adalah doktor. Prestasi itu direngkuh lantaran kegemarannya membaca buku.
Iwansyah langsung sujud syukur sesaat setelah dinyatakan lulus oleh tim penguji disertasinya Kamis (23/02/2017). Apalagi lelaki asal Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Dalam sidang di Aula Pancasila Gedung A Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu, dia memperoleh indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,75. Dia menjadi doktor ke-319 Fakultas Hukum Unair. ”Rasanya plong,” ujar Dr Iwansyah H. Abubakar SH MH, nama kompletnya kini.
Sujud syukur itu seolah menjadi puncak penantiannya. Beberapa jam sebelumnya, dia mengaku gugup. Benaknya dipenuhi ketakutan. Apalagi di atas podium, dia tampak demam panggung.
Sepuluh anggota tim penguji membuat sambutannya terbata-bata. Mereka, antara lain, Prof Dr Sri Hajati SH MS (ketua sidang), Dr Lina Hastuti SH MH (sekretaris sidang), Prof Dr Nur Basuki Minarno SH MHum, Prof Dr Didik Endro Purwoleksono SH MH, dan Prof Dr Yohanes Sogar Simamora SH MHum.
Selain itu, ada Prof Dr Agus Yudha Hernoko SH MH, Dr Sukardi SH MH, Dr Sarwirini SH MH, Dr Toetik Rahayuningsih SH MHum, dan Dr Astutik SH MH. ”Anda jangan gugup. Nanti hilang semua,” ujar Nur Basuki Minarno, penguji sekaligus promotornya.
Namun, ucapan Nur Basuki itu belum mampu meredakan kegugupan Iwansyah. Meski berjalan lancar, beberapa kali dia harus menjawab dengan terbata-bata. Kehadiran sang istri, Ririn Andriani, sedikit mengangkat mentalnya. Memang, Iwansyah mengaku fobia terhadap ujian. ”Saya cuma tidur dua jam kemarin,” aku bapak dua anak tersebut.
Itu belum apa-apa. Selama sebulan belakangan ini, dia mengaku tidak bisa tidur nyenyak. Waktunya tersita untuk menyelesaikan revisi ujian sebelumnya. ”Ujian tertutup terakhir revisinya paling banyak. Jadi, butuh waktu ekstra,” keluhnya. Beruntung, dia dibebaskan dari tugas di kepolisian. Tujuannya, dia bisa berfokus menyelesaikan studinya. ”Support dari atasan memang sangat besar,” ujar pria yang berdinas di bidang kedokteran dan kesehatan Polda Jatim sejak 2011 itu.
Momen paling berat terjadi saat injury time. Tiga hari berturut-turut sebelum hari pengumpulan disertasinya yang berjudul Kekuatan Pembuktian Otopsi Forensik Virtual dalam Tindak Pidana, dia tidak tidur. Bahkan, untuk menambah stamina, dia harus suntik injeksi multivitamin methycobal. Itu terjadi setiap akan menjalani ujian. ”Setiap ujian, selain saya harus mengerti pokok bahasan materi ujian, titik dan koma harus hafal, ” akunya.
Bahkan, ketika naskah sudah terkumpul, dia masih sulit tidur. Dia masih dikejar persiapan ujian. ”Apalagi sebelum ujian, dipanggil Kapolda,” tuturnya. Dia sempat kepikiran, kenapa Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin sampai memanggil dirinya. Iwansyah takut mendapat teguran. Ternyata, bungsu di antara lima bersaudara itu malah mendapat apresiasi dari Kapolda. ”Tetap sulit tidur. Malah jadi beban, hahaha,” selorohnya.
Perjuangan Iwansyah memang bukan hasil instan. Dia mengaku harus menyelesaikan studi dengan berdarah-darah. Selama kurang lebih empat tahun, dia harus berkeliling perpustakaan untuk mencari referensi. Sebab, materi yang menjadi pembahasan disertasinya adalah hal baru. Belum banyak buku yang membahasnya. ”Harus ke Jakarta, Jogjakarta, Bandung. Seadanya referensi pokoknya,” beber pria 36 tahun itu.
Iwansyah masih ingat saat melakukan studi perbandingan penelitian di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Saat itu, dia lupa membawa surat penelitian. Padahal, surat tersebut penting untuk pengantar. Akhirnya, dia harus mengambil kembali ke Surabaya. ”Tapi, sebelum balik ke Jogjakarta, saya harus ke Jakarta dulu karena ada tugas,” kenangnya.
Setelah dari Jakarta, dia baru bisa melakukan penelitian. Peristiwa mondar-mandir itu tidak bisa dilupakan Irwansyah. Kondisi tersebut diakuinya yang paling hectic selama melakukan penelitian. Namun, dia bersyukur karena selama menjalankan penelitian, setiap orang mendukungnya. ”Jadi, biaya tidak masalah,” ujar pria yang masuk bintara Polri pada 2002 tersebut.
Biaya untuk menyelesaikan S-3-nya memang tidak sedikit. Bisa untuk membeli mobil sedan buatan Jepang. Belum lagi kebutuhan tambahan seperti buku dan fotokopi. Untuk itu, dia mengaku mbonek. ”Bonek saja, Mas. Yang penting sekolah dulu,” ujarnya bersemangat.
Selama empat tahun belakangan dia mengaku harus berhemat. Bahkan, sekeluarga harus ”berpuasa”. Keinginan yang tidak perlu harus ditahan. Namun, biaya untuk buku tidak dibatasi. ”Kalau buku, tetap harus beli. Wajib itu,” terang pria yang masuk dalam anggota disaster victim identification (DVI) kecelakaan pesawat Airasia QZ8501 pada 2015 tersebut.
Buku memang bukan barang asing bagi Iwansyah. Sejak kecil, dia hobi membaca. Semua buku dilahapnya, kecuali komik. Bahkan, teman-teman menjulukinya si kutu buku. Kegemaran itu masih melekat hingga sekarang. Saat mendapat tugas jaga, buku selalu mengisi tas kerjanya. ”Daripada mainan HP dan ngerasani, saya lebih suka baca,” ujar penyuka buku tentang hukum pidana itu.
Sampai suatu saat, ada seorang teman yang iseng memfoto dirinya yang sedang membaca buku. Foto tersebut dikirimkan kepada komandannya. Dia dilaporkan hanya membaca buku saat bertugas. Sampai ada seorang komandan yang setiap akan berangkat kerja lapangan selalu meledeknya. ”Di dalam tas jangan bawa buku ya,” tirunya.
Dia menilai, seandainya semua anggota Polri di mana pun bertugas –terutama saat siaga 1 dan pekerjaan lapangan yang banyak menunggu– selalu membawa dan membaca buku, mereka pasti pintar dan cerdas. Dampaknya, Polri akan maju. ”Itu unek-unek saya selama ini,” terang pria yang pindah ke Surabaya sejak 1980 itu.
Prestasi Iwansyah mendapat apresiasi dari Kapolda Jatim. Meski tidak bisa hadir, kemarin Kapolda diwakili AKBP Dr Yahman SH MH, advokat madya bidang hukum Polda Jatim. Menurut dia, penelitian Irwansyah sangat bagus dari sisi kebaruan. Metode forensik virtual belum banyak digunakan. Negara-negara maju seperti Prancis dan Australia sudah menerapkan. ”Di Indonesia kan belum ada. Akan lebih baik nanti jika pemerintah bisa beli alatnya dan diaplikasikan oleh kawan-kawan di bidokkes,” tuturnya.
Pria yang juga mengajar di S-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu berharap setiap anggota Polri bisa mencontoh Irwansyah. Meski masih muda dan pangkatnya masih bintara, dia tetap mau dan gigih belajar. Harapannya, program promoter (profesional, modern, dan tepercaya) yang dicanangkan Kapolri bisa terealisasi. ”Kalau polisi ndak belajar, ya pasti kalah oleh pelaku-pelaku kriminal,” katanya. (JPNN) | Iswanez
0 komentar: